22 Mei 2009

MENGURAI KESEMBRAUTAN TATA POLITIK REZIM SUHARTO

Dasar pemikiran ini di tulis dalam rangka melaksanakan reformasi dalam bidang politik. Kesempatan besar ini di peroleh bangsa kita setelah Suharto ( pemimpin orde baru) mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998, akibat impasse politik parah sejak 1996 di tambah krisis moneter berat pertengahan 1997. Disini, reformasi di artikan tak lain dari redemokratisasi. Maksudnya adalah penegakan kembali system politik yang mendaulatkan rakyat, lantaran system politik masa orde baru telah menafikkan prinsip kedaulatan rakyat selama 32 tahun. Ini sekaligus pembongkaran topeng-topeng demokrasi yang di sebut dengan demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila.

Setiap demokrasi sejati menuntut pemenuhan keabsahan esensial dan keabsahan prosedural, keabsahan tujuan dan keabsahan cara secara sama utuh. Pada demokrasi sejati mana pun tujuan dan cara selalu sama penting. Melalui pemenuhan persyaratan inilah rasionalitas politik dan akuntabilitas pemerintahan terlaksana dengan sebaik-baiknya.

Mata rantai terpenting dalam mekanisme demokrasi adalah pemilihan umum. Rezim Orde Baru mematikan demokrasi di Indonesia dengan mendistorsikan mata rantai sentral itu, terutama melalui UU Pemilihan Umum,UU susunan dan kedudukan MPR/DPR serta UU Parpol dan Golkar. Secara politis itu sengaja di rancang untuk mematikan demokrasi di Indonesia atas dasar asumsi-asumsi politik yang miopik dan irasional. Dalam rangka redemokratisasi, mau tak mau harus kembali melaksanakan pemilihan umum. Untuk kita harus mencabut UU politik orde baru.

Dua hal perlu di jabarkan dalam rangka upaya redemokratisasi itu.

1. Kausalitas historis system politik orde baru

Orde Baru lahir dari keadaan darurat dari suatu impasse politik yang terancam perang saudara dan perekonomian yang berada di bibir kebangkrutan. Untuk mengatasinya, Suharto menerapkan solusi politik yang juga bersifat darurat. Sifat darurat ini tercermin jelas dalam tiga praksis :

· Pemusatan kekuasaan

· Kecepatan pengambilan keputusan

· Pelaksanaan seketika ( instant implementation)

Ketiga praksis ini melangkahi keabsahan prosedural dan proses musyawarah dengan wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya. Dua kondisi yang memang sudah di korupsi dan di simpangkan dalam keseluruhan mekanisme system politik Orde Baru.

Undang-undang politik serta berbagai ketetapan dan praktik penunjangnya di buat demikian agar kebijakan politik dari atas bisa di laksanakan dengan sedikit perdebatan atau musyawarah. Arti musyawarah sengaja di rusak dengan melengketkan kata mufakat padanya. Tujuannya adalah untuk memudahkan serta mempercepat terciptanya stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Dalam kontek periode 1966-1969 yang bersifat darurat itu, kebijakan monopolistic demikian merupakan keharusan, namun jelas tidak dalam kontek politik 1975-1995. pada pertengahan 1980-an, Bank Dunia menyebut kebijakan ini sebagai cerita sukses, betapun lemahnya cerita itu dalam titikan yang seksama.

Tanda-tanda tentang adanya problem mendasar kebijakan itu sudah terlihat pada awal 1970-an dan itu muncul ajeg dari waktu ke waktu dalam bentuk rentetan skandal ekonomi serta kebiadaban politik darurat oleh presiden Suharto. Ini jelas terlihat dalam peristiwa Malari, Timor timur, Pembantaian Priok, Peristiwa Lampung, Pembantaian Dili, dan peristiwa 27 juli. Kian lama kian nyatalah bahwa system politik darurat monopolistic yang merupakan solusi orde baru atas keadaan darurat 1966-1969 menolak akuntabilitas, pantang di koreksi, menutup setiap celah menuju pembaharuan dan keterbukaan serta hanya menunjang kelansungan dirinya sendiri.

Dengan system demikian praktis bangsa Indonesia kembali terjajah sejak 1975. Pada tahun ini mestinya Suharto sudah menghentikan system politik daruratnya akan tetapi dia justru meneruskan solusi model tersebut dengan kembali mengukuhkan UU Politik dan ekonomi sudah beberapa tahun berlalu.

Dalam solusi darurat itu, militerisme pada hakikatnya berperan sentral. Seperti halnya dalam keadaan darurat perang, hanya boleh ada satu komando. Ia tak boleh di pertanyakan, apalagi di bantah. Kelima UU politik yang ada itu bertujuan mengabadikan Suharto pada posisi kepala Negara, dari pengabdian demikianlah mengalir proyek-proyek besar yang bersifat monopoli, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sangat merusak sendi-sendi kehidupan politik, ekonomi, serta hukum kita. Yang jelas mengorbankan rakyat banyak dan regenerasi mendatang.

Sejak 1995, kian tajam dan meningkatlah frekuensi kritis terhadap pemerintahan Suharto, kususnya dari kalangan ahli, intelektual, dan tokoh masyarakat bahwa kita sudah dekat dalam ambang kehancuran.semua itu hanya sia-sia berhadapan dengan keangkuhan, ketakpedulian, dan keserakahan rezim Suharto.

Nah dari itu, kita sudah mengetahui kesembarutan rezim Suharto, di awal dasar pemikiran ini juga sudah kita tegaskan bahwa reformasi berarti redemokratisasi yang sekaligus menuntut pengbongkaran topeng-topeng demokrasi sebelumnya. Yang di sebut Demokrasi terpimpin jelas tidak mengikuti keabsahan procedural demokrasi. Keabsahan esensial/ tujuan terpenuhi jika kebijakan dan praktik pemerintahan sejalan dengan negara dan cita-cita kemerdekaan kita. Keduanya tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Keabsahan prosedural/ cara terpenuhi jika kita memberlakukan secara serempak dan terpadu prosedur demokrasi dalam enam lembaga:

· system kepartaian

· system pemilihan umum

· lembaga perwakilan rakyat

· lembaga eksekutif

· lembaga peradilan

· lembaga pers

Dengan ke enam unsur demokrasi inilah rasionalitas politik dan akuntabilitas pemerintahan yang mendaulatkan rakyat itu terlaksana dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi pada masa Demokrasi terpimpin terutama masa Orde Baru telah melakukan penafian terhadap keabsahan prosedur dan esensial lantaran tak berlakunya control yang seimbang dan setara. Dasar Negara menghendaki untuk mendaulatkan rakyat dan masa orde baru melanggar serta merampas kedaulatan itu sendiri. Ini di lkutkan dengan melaksanakan lima paket UU politik serta tak terhitung kebijakan serta praktik tambahannya. Secara singkat dapat di katakan bahawa system politik orde baru yang menekankan kekuasaan dan pengambilan keputusan serta instans implementation itu di tandai oleh tiga problem yang inheren :

· Sempitnya wawasan tentang stabilitas politik

· Berperannya “kecemasan-kecemasan traumatis”

· Kurangnya antisipasi dalam hal tujuan ideal dan tujuan praktis orde baru.

2. Anatomi problematik system politik orde baru

A. Empat masalah pertama

· Stabilitas politik di reduksi atau didistorsi menjadi stabilitas kekuasaan (power stability) yang sama sekali tidak di iringi dengan stabilitas pemerintahan (government stability).

· Pembangunan nasional menjadi sekedar pertumbuhan ekonomi yang amat timpang dan berpihak pada sentral serta menafikkan sektor tradisional.

· Rekayasa politik yang mengikat segenab kekuatan yang bisa di kooptasi dalam sandiwara perwakilan rakyat an terus memecah belahkan potensi masyarakat yang menghendaki akuntabilitas dan rasionalitas politik dalam rangjka monipoli kekuasaan, sebenarnya reaktualisasi politik kolonial.

· Kebijakan dan praktik monopoli politik akibat solusi darurat Orde Baru segera meluas dan merasuk ke bidang-bidang kehidupan lain.

B. Lima masalah kedua

· Fungsi dan rasionalitas lembaga-lembaga yang niscaya dalam rangka demokrasi seperti kepartaian, pemilihan umum, perwakilan rakyat, kepresidenan, peradilan, dan penerangan(kusus pers) secara sistemik di selewengkan untuk memenuhi tujuan-tujuan sebaliknya.

· Birokrasi sipil dengan doktrin monoloyalitas dan doktrin dwifungsi ABRI di reduksi/didistorsi menjadi dua alat pelestarian rezim.

Dwifungsi ABRI sendiri merupakan distorsi empat tingkat yang bertentangan dengan rasionalisasi politik.

1. Distorsi dari penerapan solusi darurat atas keadaan politik darurat dari zaman revolusi kemerdekaan yakni TNI tidak sekadar menjadi alat mati kekuasaan menjadi solusi juga ata keadaan normal.

2. Distorsi dari kehendak untuk ikut duduk dalam lembaga tertinggi atau strategi penentu jalannya Negara kita menjadi pengaryaan anggota TNI secara amat luas ke tak hitung posisi dan jabatan sipil.

3. Distorsi manusia dewa yakni tuntutan zaman modern yang menghendaki spesialisasi dan profesionalisme atas segala bidang-bidang.

4. Distorsi dari tuntutan zaman modern untuk menyerahkan masalah pada ahlinya atas dasar merit dan kembali terperangkap pada pandangan primitive untuk memberikan kepemimpinan kepada yang kuat dan punya senjata. Itu tentu saja berujung pada distorsi konstitusional yakni beralih dari prinsip Negara hokum ( rechstaat ) ke prinsip Negara kekuasaan (Machstaat).

· Irasional dan diskriminasi sistemik yang di lakukan lewat doktrin dwipungsi ABRI, pada diskriminasi ke partaian pun di lakukan lewat partai Golkar.

· Sebagai dua tiang utama system politik Orde Baru, baik dwipungsi ABRI maupun Golkar akhirnya menjadi sarana bagi para pemangku privilese politik . Oleh karena itu, jadilah mereka selama Orde Baru kumpulan warga Negara kelas satu dan mayoritas warga di luarnya sebagai kumpulan warga Negara kelas dua.

· Pertanggungjawaban presiden selama orde baru lagi-lagi didistorsikan dengan mengagendakan pertanggung jawab itu kepada MPR yang baru di resmikan, bukan kepada MPR yang mestinya membawahi presiden selam siklus lima tahun pemerintahannya.

Dengan distorsi ini, jelaslah bahwa system politik darurat/ monopolistik Orde Baru sekaligus bersifat irasional, miopik, kerdil, primitive, merampas kedaulatan rakyat dan mengkhianati cita-cita kemerdekaan RI. Kesembrautan itu ternyata meledak pada tahun 1998 yang di lakukan oleh para agent of change yaitu mahasiswa yang menginginkan reformasi. Dengan mengetahui itu kita hari ini selaku rakyat Indonesia sadar dan akan melakukan perubahan-perubahan yang bersifat membangun. Semoga kita tidak terjebak oleh tipe rezim Suharto yang menghancurkan generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar